Sebuah Perjalanan
Oleh: Nurroh Habibah (02/10/12)
“Hidup itu bagaikan roda, terkadang di atas terkadang
pula di bawah.”
Kalimat
klise yang sering aku dengar. Namun sungguh, realita dalam kehidupan kita
berjalan seperti itu. Entah takdir ataukah hanya sebuah kebetulan semata. Bagai
rahasia besar yang kita tak tahu kapan akan terkuak. Kita hanyalah lakon dalam
sebuah sandiwara yang berjudul kehidupan. Menunggu perintah sesuai dengan
naskah yang telah dituliskan sebelumnya oleh penulisnya. Tidak bisa kita
membantahnya, yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani, menerima, dan berusaha
untuk menjadi lebih baik di hari esok.
“Lang,
ayo sarapan dulu. Si Bibiudah bikinin makanan kesukaanmu.”
Suara
yang tak asing lagi ditelingaku, suara yang selalu aku dengarkan. Suara yang
membuatku menjadi begitu nyaman dan memberiku semangat. Yaaa.... Seorang perempuan paruh baya yang satu-satunya mau
menerima dan merawatku hingga saat ini.
“Iya
Nek, bentar.”
Lekas
aku berusaha menjalankan kursi rodaku ini. Di atas kursi ini aku melakukan
segala aktivitasku. Menjalani hidup dengan berbagai beban yang harus aku pikul.
Aku tak butuh dikasihani, yang aku butuhkan adalah dikasihi oleh mereka. Mereka
yang seharusnya tidak membuang dan meninggalku begitu saja.
“Gimana
bisnis online mu, Lang.”
“Alhamdulillah
lancar Nek, kita sudah bisa dapet omset yang memuaskan.”
“Alhamdulillah
kalo gitu. Kalaoudah sukses jangan lupain mereka. Mereka yang membutuhkan.
Ingatlah kehidupan kita dulu. Tidak boleh sombong.”
“Tentu
Nek, itu udah jadi kewajibanku. Aku pernah rasain gaimana jadi mereka. Dihina karena
keterbatasan fisikku, oleh kemampuan ekonomi kita dahulu. Tidak mungkin bisa
aku lupain gitu aja sebuah pelajaran berhaga dalam hidupku.”
“Yasudah,
habisin sarapanmu. Yayasan Sayap Bunda sudah nunggu kamu untuk ngisi dan ngasih
motivasi buat anak-anak cacat. Nenek bilang Mamang dulu untuk menyiapin mobil.”
***
Yaaaa.... Aku, Gilang Dwiputra. Seorang yang
memiliki keterbatasan namun memiliki ambisi yang tinggi. Aku terserang penyakit
langka Muscular Dystrophy tipe Becker yang menyerang syaraf motorikku di otak
kecil. Hingga mengakibatkan sebagian tubuhku cacat dan tidak berkembang
sempurna.
Usia menginjak dewasa seperti ini seharusnya ku
habiskan besama teman-teman di kampus. Namun aku berbeda. Memang, aku memiliki
banyak teman, teman yang sama sepertiku. Dengan keterbatasan dan mimpi-mimpi
besar.
Itulah yang membuatku kuat, membuatku bertahan
hingga sekarang. Berasama orang-orang yang aku kasihi dan tentunya menerimaku
apa adanya.
Mobil melaju dengan kencang, membawaku pergi
meninggalkan Yayasan Sayap Bunda yang sudah tak terlihat dipelupuk mataku. Aku
sudah jauh meninggalkan tempat yang penuh dengan anak-anak berpotensial walau
dengan keterbatasan.
Kini aku berada disebuah tempat yang sangat tak
asing bagiku. Tempat dimana semua ini berawal.
“Den Gilang, saya tinggal disini dulu, mau
njemput Nenek. Satu jam lagi saya jemput ya Den.”
“Iya Mang, santai. Aku mau di sini dulu. Kalo aku
nggak ada di sini nanti Mamang susul di tempatnya Raisa ya.”
“Oke Den, ati-ati ya.”
***
Tak
terasa sudah beberapa menit aku termenung di sini. Mengamati sekitar, tak ada
bedanya memang. Suasana hiruk-pikuk yang sama.
“Lang,
kok nggak bilang kalo lagi disini. Tau gitu aku temenin.”
“Eh
kamu Ra, tadi aku cuma mampir soalnya si Mamang lagi jemput Nenek. Terus aku
nunggunya disini.”
“Sering
banget sih ke sini. Ini tempat berarti banget ya buat kamu?”
Aku dan
Raisa memang akrab. Kami bertemu di sebuah event
untuk anak-anak cacat yang diadakan kampusnya dan aku menjadi pembicara disana.
Untungnya dia tidak malu berteman denganku. Aku sangat bahagia memiliki teman
spertinya.
“Iya
Ra, ini berarti banget. Banyak kisah yang terjadi disini. Termasuk bagaimana
aku bisa berada di atas kursi roda ini. Semuanya berawal dari sini.”
***
Aku
bercerita panjang lebar kepadanya. Termasuk bercerita tentang bagaimana
keadaanku dahulu.
Aku
adalah seorang anak pengemis. Sejak balita aku membantu kedua orang tuaku mencari
nafkah. Hingga akhirnya nasib berkata lain, aku tertabrak motor yang melaju
kencang. Dan didiagnosis menderita Muscular Dystrophy tipe Becker hingga saat ini.
Masa remajaku kuhabiskan bersama Nenek dan Kakek.
Sejak kejadian kecelakaan itu, kedua orangtuaku pergi meninggalkanku. Entah
kenapa. Mungkin mereka malu mempunyai anak sepertiku atau entahlah. Aku tak
mengerti jalan pikir mereka.
Beberapa tahun lalu, Kakekku meninggal. Tinggal
aku dan Nenek sekarang. Aku terus memutar otak. Kini hanya aku harapan yang
Nenek punya. Bagaimanapun aku yang harus menjadi tulang punggung keluarga walau
dengan segala keterbatasan yang aku miliki.
"It is a waste of time to be angry about my disability.
One has to get on with life and I haven't done badly. People won't have time
for you if you are always angry or complaining." - Stephen Hawking
Untaian kalimat yang selalu membuatku berfikir beribu kali
untuk mengucapkan sedikit kata penyesalan yang amat dalam. Kata-kata yang
membuatku merenung sedalam batas kemampuanku untuk tidak kembali berada dalam
bayang kursi pesakitan. Walau aku tahu, aku kini duduk di atasnya. Bersama
beberapa sisa-sisa asa dan tenaga yang kumiliki. Aku hanya ingin bisa
memberikan hal yang lebih bermakna.
"Whenever God closes one door, He always opens another,
even though sometimes it's Hell in the hallway."
-- unknown
Kembali aku berfikir dan merenung, kupaksa syaraf-syaraf
motorikku kembali bekerja. Aku yakin aku pasti bisa mengubah keadaan ini
menjadi keadaan yang lebih baik.
Dan semua yang aku lakukan itu tidak sia-sia. Aku berusaha
mencoba hal baru. Menggali potensiku walau aku tahu aku memiliki banyak
keterbatasan.
Kini aku sedang berada di atas. Menjadi seorang pebisnis
online dan sorang motivator walau dengan keterbatasan yang aku punya. Aku tidak
boleh terlena dengan semua ini. Aku harus tetap bersyukur oleh anugerah-Nya.
Tetap harus berbagi dengan yang lain, dengan mereka yang membutuhkan.
***
Tidak
terasa, lama sekali aku bercerita dan Raisa menyimak satu-perstu kisah yang aku
ceritakan. Kulihat air mata menetes di pipinya. Ia pun menyadari air mata itu
dan segera menghapusnya di hadapanku.
“Lang,
aku salut banget sama kamu. Kamu itu bukan hanya teman bagiku. Melainkan
motivator untuk menjadi lebih baik lagi. Nggak nyangka dulu kehidupanmu
bertolak belakang banget sama sekarang. Tapi kamu tetep kuat, tetep tegar dan
mau berusaha buat jadi sekarang ini.”
“Alhamdulillah
Ra, aku aja yang kayak gini bisa. Kamu juga bisa kok jadi kayak yang kamu mau.
Jangan lupa usaha dan doa. Capai mimpimu. Bermimpilah sebelum kau tahu itu tak
bakal terjadi. Semua udah ada yang ngatur.”
“Iya
Lang, makasih yaa. Selama ini setelah kita temenan, aku jadi lebih memaknai
setiap detik dan menghargai apapun yang aku lakuin. Aku ingin hal yang aku
lakuin itu bermanfaat buat aku dan yang lain. Kayak kamu.”
***
Mamang
dan Nenek menjemputku. Aku pulang meninggalkan Raisa.
Jika
aku ingat hari ini, banyak sekali hal yang aku dapatkan. Sejujurnya aku belum
bagahia menjadi aku yang sekarang. Aku ingin lebih bisa menyumbangkan manfaat
untuk orang lain. Karena aku tak mau menyiayiakan waktu singkatku untuk
merenungi keterbatasanku.
Walau
tidak lengkap rasanya. Tidak bersama orang tua tercinta. Aku tak marah walau
mereka telah meninggalkanku. Aku hanya ingin berterimakasih pada mereka. Berkat
mereka, aku menjadi lebih kuat menjalani hidup yang keras. Tidak manja, tidak
ketergantungan dengan orang tua. Walau sakit memang ditinggalkan. Namun aku
tetap berterimakasih.
Untuk kedua orangtuaku, cobalah terima aku
dengan segala keterbatasanku.
Untuk teman-teman yang sepertiku, raihlah
mimpi kalian. Jangan selalu merenungi keterbatasan kita. Karena sejujurnya kita
bisa melakukan hal yang sama seperti mereka yang sempurnya.
Jalani hidup kita dengan senyuman. Tuhan
selalu memberikan hikmah disetiap kejadian. Sepahit apapun itu sebuntu apapun
suatu jalan. Masih ada jalan keluar dengan cahaya pengharapan. Yakinlah!
***