Wednesday, August 1, 2012

cerpen!

Edelweis Terindah
oleh: Nurroh Habibah

Siang itu, ketika aku sedang menghabiskan sebagian waktuku di taman sekolah. Membaca sebuah novel fiksi dan masih setia berimajinasi dengan sajak-sajak di dalamnya.

Entah mengapa hari-hari yang kualami kini seperti sandiwara, sedikit berperan sebagai putri dan terkadang menjadi upik abu. Tapi ini lah hidup. Kita hanyalah lakon di dalamnya, dan Tuhan-lah sang peroduser terhebat di dunia yang sekaligus merangkap menjadi penulis naskahnya.

Tiba-tiba saja seseorang datang menghampiriku. Entah siapa dia, mataku masih saja tertunduk dan terlelap dalam lautan sajak-sajak dalam novel.

"Hai, Fa.."

Suara yang tidak asing ditelingaku, dan memang benar. Dia.

"Hari Re, kok kamu disini? bukannyaa........"
"Iya hehe. Untuk terakhir kalinya sebelum aku berangkat mendaki. Kusempatkan untuk menemuimu."

Lagi-lagi, yaaah bukan hanya kata 'lagi' saking sebegitu seringnya ia mengagetkanku dengan gombalannya. Aku dan Reza memang sudah akrab sejak setahun yang lalu. Perkenalan kami memang tidak terduga. Kami berkenalan ketika kami menjadi panitia salah satu event di sekolah. Sejak saat itu, intensitas kami untuk bertemu dan bercengkerama semakin sering. Banyak sekali orang 'awam' megira kami berpacaran. Walau kenyataan mengatakan bahwa kami hanya sebatas teman.
Aku sedikit termenung.

"Faaa!!! Haloooo Zifaaa?" sambil menaik-turunkan tangan dihadapanku
"Eh iyaa Re, nanti aku smsin jadwalnya deh. Sip deh." tidak sadar dan tidak memperhatikan
"Lhoh? Fa? siapa yang minta jadwal? Makanya kalau lagi ngobrol janagan ditinggal bengong."

Aku masih membisu dihadapannya. Entah apa yang sedang bergulir di syaraf motorikku.

"Yaudah deh Fa, aku pamit yaaa. Udah ditunggu anak pecinta alam yang lainnya. Jangan kangen lhoo."
"Oh, oke lah. Idih? Siapa juga yang kangen?"
"Hehe, bercanda Faa. Kalik aja kamu kangen sama smsku. Soalnya selama 2hari kedepan aku mendaki enggak bawa hp."
"Owalah gitu. Nggak bakal kangen sih yaaa. Heheh. Yaudah sana buruan berangkat."

Akhirnya Reza pun mulai menghilang dari tatapan mataku. Dan kini aku hanya bisa terdiam dan berfikir. Apa yang akan ku lakukan 2 hari kedepan?

._______.

Hari ini, tepat 3 hari anak-anak pecinta alam pergi mendaki gunung. Semestinya mereka sudah datang beberapa menit yang lalu. Kini waktu menunjukkan pukul 15.45, meleset dari perkiraan Fafa (anak pecinta alam) yang mengabariku lewat ponselnya.

Sedikit heran, megapa aku harus berdiri disini menunggu? Mengapa? Apa alasanku untuk menunggu? Apakah harus aku yang menjemput Reza? Dan mengapa aku begitu bersemangat untuk bertemu? Rasanya seperti reunian teman TK saja. Mengapa?

Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari dalam diriku, bus yang membawa anak-anak pecinta alam terlihat di depan lamunan mataku. Semua siswa turun perlahan mengemasi barang bawaannya. Jaket merah, celana jeans, sepatu boots, dan harum parfum ini. Seperti telah terekam dalam memoriku. Dan benar saja, Reza datang menghampiriku dengan senyum melankolisnya.

Sedikit kubantu ia mengemasi barang bawaannya. Hingga akhirnya aku dibawanya di bawah pohon pojok taman 'seribu bunga' belakang sekolah. Tak mengerti apa yang akan ia lakukan. Kini jantungku berdisco tak harmonis.

"Senang bertemu denganmu kembali Fa, terimalah." Sambil membriku pot berisikan setangkai bunga yang tidak asing bagiku. Belum sempat aku bertanya, ia sudah menjelaskannya kepadaku.
"Ini adalah bunga edelweis, bunga yang sengaja aku petik dari ketinggian sana. Tak perlu repot-repot menyiramnya. Bunga ini tahan banting. Oleh karena itu sering disebut bunga keabadian"

Lagi-lagi aku hanya bisa membisu. Bunga keabadian? Sepertinya aku pernah melihatnya di buku tentang bunga. Bukannya ini bunga yang disebut-sebut perlambangan cinta? Lalu, apa maksud Reza memberikannya kepadaku? Aku sedikit ragu dan ingin bertanya.

"Re... ngapain kamu ndaki gunung terus ambil bunga ini yang ujung-ujungnya kamu kasih e aku?
"Selama beberapa hari aku mendaki, hamparan luas bunga ini yang aku lihat. Mengingatkanku kepadamu. Orang yang sepesial untukku."
"Maksudnya Re? Aku tetep enggak ngerti."
"Maafkan aku Fa, aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan ini. Dan kini kau pun mendesak. ummm... Baiklah, Maaf aku telah lancang mencintaimu dalam diam. Maaf."

Hening....... Aku tak tau harus bangaimana. Watu semakin senja dan kami pun pulang ke rumah dalam diam. Dalam kecanggungan yang amat dalam. Kuamati kembali bunga indah yang aku taruh di dekat jendela kamar. Cantik, dan penuh pengorbanan untuk mengambilnya.

Trimakasih, terimakasih Reza. Terimakasih telah mengakui hal itu. Terimakasih sudah mau mencintaiku dalam diammu. Mungkin ini jawaban dari pertanyaan dalam diriku. Bahwa sesungguhnya aku pun merasakan hal yang sama. Hal yang menyeruak secara tidak sengaja, meyusup dalam persahabatan kita. Cinta....... Terimakasih untuk bunga abadi ini.

Edelweis terindah dalam hidupku. Terimakasih...♥

2 comments:

silahkan komentarnya :) makasih yaaaaaa.