Sunday, June 2, 2013

Cerpen!

Sebuah Perjalanan
Oleh: Nurroh Habibah (02/10/12)

“Hidup itu bagaikan roda, terkadang di atas terkadang pula di bawah.”
Kalimat klise yang sering aku dengar. Namun sungguh, realita dalam kehidupan kita berjalan seperti itu. Entah takdir ataukah hanya sebuah kebetulan semata. Bagai rahasia besar yang kita tak tahu kapan akan terkuak. Kita hanyalah lakon dalam sebuah sandiwara yang berjudul kehidupan. Menunggu perintah sesuai dengan naskah yang telah dituliskan sebelumnya oleh penulisnya. Tidak bisa kita membantahnya, yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani, menerima, dan berusaha untuk menjadi lebih baik di hari esok.
“Lang, ayo sarapan dulu. Si Bibiudah bikinin makanan kesukaanmu.”
Suara yang tak asing lagi ditelingaku, suara yang selalu aku dengarkan. Suara yang membuatku menjadi begitu nyaman dan memberiku semangat. Yaaa.... Seorang perempuan paruh baya yang satu-satunya mau menerima dan merawatku hingga saat ini.
“Iya Nek, bentar.”
Lekas aku berusaha menjalankan kursi rodaku ini. Di atas kursi ini aku melakukan segala aktivitasku. Menjalani hidup dengan berbagai beban yang harus aku pikul. Aku tak butuh dikasihani, yang aku butuhkan adalah dikasihi oleh mereka. Mereka yang seharusnya tidak membuang dan meninggalku begitu saja.
“Gimana bisnis online mu, Lang.”
“Alhamdulillah lancar Nek, kita sudah bisa dapet omset yang memuaskan.”
“Alhamdulillah kalo gitu. Kalaoudah sukses jangan lupain mereka. Mereka yang membutuhkan. Ingatlah kehidupan kita dulu. Tidak boleh sombong.”
“Tentu Nek, itu udah jadi kewajibanku. Aku pernah rasain gaimana jadi mereka. Dihina karena keterbatasan fisikku, oleh kemampuan ekonomi kita dahulu. Tidak mungkin bisa aku lupain gitu aja sebuah pelajaran berhaga dalam hidupku.”
“Yasudah, habisin sarapanmu. Yayasan Sayap Bunda sudah nunggu kamu untuk ngisi dan ngasih motivasi buat anak-anak cacat. Nenek bilang Mamang dulu untuk menyiapin mobil.”
***
Yaaaa.... Aku, Gilang Dwiputra. Seorang yang memiliki keterbatasan namun memiliki ambisi yang tinggi. Aku terserang penyakit langka Muscular Dystrophy tipe Becker yang menyerang syaraf motorikku di otak kecil. Hingga mengakibatkan sebagian tubuhku cacat dan tidak berkembang sempurna.
Usia menginjak dewasa seperti ini seharusnya ku habiskan besama teman-teman di kampus. Namun aku berbeda. Memang, aku memiliki banyak teman, teman yang sama sepertiku. Dengan keterbatasan dan mimpi-mimpi besar.
Itulah yang membuatku kuat, membuatku bertahan hingga sekarang. Berasama orang-orang yang aku kasihi dan tentunya menerimaku apa adanya.
Mobil melaju dengan kencang, membawaku pergi meninggalkan Yayasan Sayap Bunda yang sudah tak terlihat dipelupuk mataku. Aku sudah jauh meninggalkan tempat yang penuh dengan anak-anak berpotensial walau dengan keterbatasan.
Kini aku berada disebuah tempat yang sangat tak asing bagiku. Tempat dimana semua ini berawal.
“Den Gilang, saya tinggal disini dulu, mau njemput Nenek. Satu jam lagi saya jemput ya Den.”
“Iya Mang, santai. Aku mau di sini dulu. Kalo aku nggak ada di sini nanti Mamang susul di tempatnya Raisa ya.”
“Oke Den, ati-ati ya.”
***
Tak terasa sudah beberapa menit aku termenung di sini. Mengamati sekitar, tak ada bedanya memang. Suasana hiruk-pikuk yang sama.
“Lang, kok nggak bilang kalo lagi disini. Tau gitu aku temenin.”
“Eh kamu Ra, tadi aku cuma mampir soalnya si Mamang lagi jemput Nenek. Terus aku nunggunya disini.”
“Sering banget sih ke sini. Ini tempat berarti banget ya buat kamu?”
Aku dan Raisa memang akrab. Kami bertemu di sebuah event untuk anak-anak cacat yang diadakan kampusnya dan aku menjadi pembicara disana. Untungnya dia tidak malu berteman denganku. Aku sangat bahagia memiliki teman spertinya.
“Iya Ra, ini berarti banget. Banyak kisah yang terjadi disini. Termasuk bagaimana aku bisa berada di atas kursi roda ini. Semuanya berawal dari sini.”
***
Aku bercerita panjang lebar kepadanya. Termasuk bercerita tentang bagaimana keadaanku dahulu.
Aku adalah seorang anak pengemis. Sejak balita aku membantu kedua orang tuaku mencari nafkah. Hingga akhirnya nasib berkata lain, aku tertabrak motor yang melaju kencang. Dan didiagnosis menderita Muscular Dystrophy tipe Becker hingga saat ini.
Masa remajaku kuhabiskan bersama Nenek dan Kakek. Sejak kejadian kecelakaan itu, kedua orangtuaku pergi meninggalkanku. Entah kenapa. Mungkin mereka malu mempunyai anak sepertiku atau entahlah. Aku tak mengerti jalan pikir mereka.
Beberapa tahun lalu, Kakekku meninggal. Tinggal aku dan Nenek sekarang. Aku terus memutar otak. Kini hanya aku harapan yang Nenek punya. Bagaimanapun aku yang harus menjadi tulang punggung keluarga walau dengan segala keterbatasan yang aku miliki.
"It is a waste of time to be angry about my disability. One has to get on with life and I haven't done badly. People won't have time for you if you are always angry or complaining." - Stephen Hawking
Untaian kalimat yang selalu membuatku berfikir beribu kali untuk mengucapkan sedikit kata penyesalan yang amat dalam. Kata-kata yang membuatku merenung sedalam batas kemampuanku untuk tidak kembali berada dalam bayang kursi pesakitan. Walau aku tahu, aku kini duduk di atasnya. Bersama beberapa sisa-sisa asa dan tenaga yang kumiliki. Aku hanya ingin bisa memberikan hal yang lebih bermakna.
"Whenever God closes one door, He always opens another, even though sometimes it's Hell in the hallway."
-- unknown
Kembali aku berfikir dan merenung, kupaksa syaraf-syaraf motorikku kembali bekerja. Aku yakin aku pasti bisa mengubah keadaan ini menjadi keadaan yang lebih baik.
Dan semua yang aku lakukan itu tidak sia-sia. Aku berusaha mencoba hal baru. Menggali potensiku walau aku tahu aku memiliki banyak keterbatasan.
Kini aku sedang berada di atas. Menjadi seorang pebisnis online dan sorang motivator walau dengan keterbatasan yang aku punya. Aku tidak boleh terlena dengan semua ini. Aku harus tetap bersyukur oleh anugerah-Nya. Tetap harus berbagi dengan yang lain, dengan mereka yang membutuhkan.
***
Tidak terasa, lama sekali aku bercerita dan Raisa menyimak satu-perstu kisah yang aku ceritakan. Kulihat air mata menetes di pipinya. Ia pun menyadari air mata itu dan segera menghapusnya di hadapanku.
“Lang, aku salut banget sama kamu. Kamu itu bukan hanya teman bagiku. Melainkan motivator untuk menjadi lebih baik lagi. Nggak nyangka dulu kehidupanmu bertolak belakang banget sama sekarang. Tapi kamu tetep kuat, tetep tegar dan mau berusaha buat jadi sekarang ini.”
“Alhamdulillah Ra, aku aja yang kayak gini bisa. Kamu juga bisa kok jadi kayak yang kamu mau. Jangan lupa usaha dan doa. Capai mimpimu. Bermimpilah sebelum kau tahu itu tak bakal terjadi. Semua udah ada yang ngatur.”
“Iya Lang, makasih yaa. Selama ini setelah kita temenan, aku jadi lebih memaknai setiap detik dan menghargai apapun yang aku lakuin. Aku ingin hal yang aku lakuin itu bermanfaat buat aku dan yang lain. Kayak kamu.”
***
Mamang dan Nenek menjemputku. Aku pulang meninggalkan Raisa.
Jika aku ingat hari ini, banyak sekali hal yang aku dapatkan. Sejujurnya aku belum bagahia menjadi aku yang sekarang. Aku ingin lebih bisa menyumbangkan manfaat untuk orang lain. Karena aku tak mau menyiayiakan waktu singkatku untuk merenungi keterbatasanku.
Walau tidak lengkap rasanya. Tidak bersama orang tua tercinta. Aku tak marah walau mereka telah meninggalkanku. Aku hanya ingin berterimakasih pada mereka. Berkat mereka, aku menjadi lebih kuat menjalani hidup yang keras. Tidak manja, tidak ketergantungan dengan orang tua. Walau sakit memang ditinggalkan. Namun aku tetap berterimakasih.
Untuk kedua orangtuaku, cobalah terima aku dengan segala keterbatasanku.
Untuk teman-teman yang sepertiku, raihlah mimpi kalian. Jangan selalu merenungi keterbatasan kita. Karena sejujurnya kita bisa melakukan hal yang sama seperti mereka yang sempurnya.
Jalani hidup kita dengan senyuman. Tuhan selalu memberikan hikmah disetiap kejadian. Sepahit apapun itu sebuntu apapun suatu jalan. Masih ada jalan keluar dengan cahaya pengharapan. Yakinlah!

***

No comments:

Post a Comment

silahkan komentarnya :) makasih yaaaaaa.