p e n y e s a l a n
Oleh
Nurroh Habibah
intik
hujan temaniku malam ini, setelah sekian lama tak kunjung kurasakan aroma tanah
yang menyeruak di hidung seperti sekarang. Yah.. Sendiri ditemani teman
terbaikku (laptop). Bintang tak terlihat dilangit malam, mendung yang
menyelimuti sehati dengan dinginya angin menusuk tulang. Tak kutemui juga asa
yang pernah ada.
Liburan
selama dua bulan tlah berlalu, roda aktivitas berjalan sesuai aturan. Hambar… Seperti
biasa. Tapi aku mencoba mengisi hari-hariku ini dengan senyuman. Walau kadang
senyum palsu yang aku torehkan diwajah yang sempat kehilangan semangat hidup.
Mencari jati diri, mencoba hal baru, menyesali kesalahan yang diperbuat.. Konyol
jika diceritakan. Namun itu adalah kenyataan yang terjadi kini.
Lagi apa? Udah makan belum?
Handphoneku
berdering mengagetkan. Kulihat nama pengirimnya. RAYN (Aku tak tahu, dia
termasuk temanku atau sahabatku atau lebih. Statusnya masih dipertanyakan.) Lama
sekali rasanya aku tak bersua dengannya. Dengan sigap aku balas sms itu dan
mulailah percakapan kami seperti dulu.
Udah
kok Ray. Kamu?
Aku juga udah kok, Joe…. Besok aku
tunggu di kantin pulskul J bye
Balasan
yang begitu singkat menurutku. Tapi aku menuruti apa yang ia mau. Untuk saat
ini, aku juga merindukannya. Mungkin ini jawaban dari kerinduanku.
***
Pulang
sekolah, aku pun segera menemuinya. Kalian tahu rasanya menunggu hasil
pengumuman kelulusan? Dan kini aku merasakan hal yang aku rasakan beberapa
bulan yang lalu ketika aku lulus dari SMP. Rayn telah menungguku di kantin. Aku
mencoba memasang wajah tenang.
“Kenapa
tiba-tiba mnegajakku bertemu?” Tanyaku sedikit gugup.
“Tak
apa, aku hanya ingin memberimu sesuatu.” Sambil memberikan sebuah kancing baju.
Tentu
saja aku bertanya-tanya kenapa Rayn memberiku kancing baju. Cuma satu lagi.
Kalau lebih kan bisa buat jaga-jaga kalau kancingku ada yang lepas. Belum
sempat aku bertanya Rayn sudah menjelaskan semuanya padaku.
“Ini
adalah tradisi anak di Jepang, para anak cowok memberikan kancing nomor dua dari
baju seragamnya kepada cewek saat kelulusan.”
Tanda
tanya besar kini memenuhi kepalaku. Aku tak mengerti tradisi Jepang ini. Konyol
bukan?
“Sekarang
bukan akhir semester Ray. Malah ini awal kita masuk SMA. Apa makna kancing
ini?”
“Yaa memang, sebenarnya aku ingin memberikannya
saat kelulusan kemarin. Tapi sayangnya aku sedang ada keperluan mendadak yang
penting. Jadi kuberikan padamu sekarang. Anggap saja ini kenang-kenangan dariku.”
Ia
pun pergi tanpa pamit. Aku pun langsung pulang karena awan mendung sepertinya
tak sabar untuk memuntahkan isinya ke bumi.
***
Semester
pertama di high school telah berlalu.
Kini aku dan teman-teman seangkatan sedang menikmati libur panjang bersama. Yaaa.. Darma Wisata ke Bali. Sebenarnya
ini tidak cocok untuk dikatakan sebagai ‘Darma Wisata’. Kenapa? Karena setelah
ini kami diharuskan menulis laporan perjalanan yang tentu saja membosankan.
Aku
duduk di bus bersebelahan dengan Joytika sahabatku sejak SMP. Entah mengapa nama
kami sama-sama diawali dengan huruf ke-10 dari 26 huruf yang ada. Joeira dan
Joytika. Hahaha .. Tapi sayangnya aku
tidak bisa satu bus dengan Rayn, perbedaan kelas menjadi faktor utama.
Tujuan
kami kali ini adalah pantai Kuta. Kami diharuskan naik 'komotra' (semacam angkot) menuju
ke pantai, dan jika akan kembali ke parkiran bus, kami pun diharuskan naik komotra lagi yang harus kami tunggu di depan Hard Rock café sebelum waktu
menunjukkan pukul 18.30 WITA.
Menikmati
senja bersama sahabat tercinta dan Rayn adalah hal yang menyenangkan. Bercanda
bersama. Terasa nyaman sekali aku berada dalam kondisi seperti ini, tak ingin
rasanya melupakan momen indah ini.
Sebelum
kami menuju Hard Rock untuk menunggu ‘angkot’, Rayn berbisik ditelingaku.
“Jangan
pernah tinggalin aku, Joe.”
Aku
tak tahu apa maksudnya. Aku hanya bisa menangguk bisu sembari melangkah menuju
Hard Rock café dan menanti ‘angkot’ yang tak kunjung datangS.
***
Semester dua di high school, disini pula aku semakin dekat dengan Rayn. Semakin
akrab, bercanda, tertawa, semuanya ada. Tapi aku tetap tak mengerti tentang ini
semua, aku mulai merasakan benih cinta yang tumbuh di dalam hubungan ini.
Teman-teman mengiraku berpacaran dengannya, termasuk Joytika. Meskipun berkali-kali
aku menjelaskan kepada mereka bahwa kemungkinan besar hubungan ini adalah
hubungan pertememanan biasa seperti aku dan Joytika karena sampai saat ini
tidak ada yang menyatakan kata ciinta. Tapi kelihatannyaa ini lebih dari
sekedar pertemanan.
Hingga akhirnya…..
Joe maafkan aku, maafkan aku, ..
Lagi-lagi
aku tak mengerti maksud dari pesan singkat yang kuterima. Kucoba membalas tetapi
tidak terkirim alias failed.
Ternyata sudah seminggu ini Rayn
tidak masuk sekolah. Teman terdekatnya di kelas juga tidak mengetahui kemana ia
pergi. Di kantor piket hanya tertera bahwa ia sedang ijin. Mengapa ia tidak
pamit kepadaku? Tanda Tanya besar yang ada dalam benakku. Kali ini aku
benar-benar marah padanya. Walaupun sebenarnya aku tidak berhak untuk marah.
Tiada
kabar yang aku terima selama 2minggu ini. Aku memutuskan untuk pergi ke
rumahnya berasama Joytika.
***
Aku
tidak menemukan Rayn di rumahnya, yang kutemui hanya penjaga rumahnya yang juga
tidak mau memberi tahuku dimana Rayn. Tetapi ia memberiku sepucuk surat yang
dititipkan Rayn. Surat itu berisi sebuah alamat yang sepertinya tidak asing
lagi di telingaku.
Aku
dan Joytika bergegas menuju alamat tersebut walau sebenarnya kami berdua tidak
mengerti maksud dari surat itu. Lagi-lagi Rayn membuatku bingung.
Sebuah
gedung tinggi dengan papan nama “Rumah Sakit Pelita Harapan”. ada apa ini?
Berulang kali aku dan Joytika mengamati sepucuk kertas dan mencocokkannya dengan
alamat gedung di depan kami.
“Ayo
Joe, ayo kita coba masuk” Pinta Joytika.
“Tapi
siapa yang sakit Joy? Aku bingung.” Jawabku.
Joytika
menarik lenganku menuju meja piket para suster dan bertanya apakah ada pasien
yang bernama Rayn Koeswardana. Dan ternyata ada pasien yang sudah dirawat
selama dua minggu di Pavillium Anggrek nomer 218.
Sedikit
gemetar ketika aku mengetuk pintu kamar nomor 218 itu. Kutemui wajah yang
selalu menemani hari-hariku dan kini terbaring tanpa respon, tak berdaya dengan
beberapa selang ditubuhnya. Mama Rayn menceritakan semuanya. Tak sadar air
mataku menetes ketika kuketahui Rayn mengidap kangker otak stadium akhir.
Aku
masih tak percaya. Joytika memeluk tubuhku erat-erat. Sepertinya ia tahu bahwa
aku belum bisa menerima kenyataan ini.
***
Setiap
hari kukunjuingi kamar 218 itu. Setiap hari kulihat Rayn tak sadarkan diri. Dan
setiap hari pula aku panjatkan doa kepada Tuhan meminta kesembuhan Rayn.
Pulang
sekolah saku rokku bergetar. Mama Rayn menelefonku,
menyuruhku ke rumah sakit segera karena kondisi Rayn semakin kritis.
Aku
terlambat, saat itu aku tak kuasa menahan air mata, tubuh ini lunglai masih tak
percaya. Rayn telah tiada, ia telah pergi menghadap Sang Kuasa. Pergi untuk
selamanya.
Beberapa
hari setelah kepergian Rayn, kembali kuterima surat darinya yang ia titipkan
lewat mamanya. Ia telah mempersiapkan semua ini, seakan ia tahu bahwa umurnya
sudah tak lama lagi.
Untuk Joe,
Maafkan aku untuk semua rasa penasaran
yang sering aku perbuat. Kini kau akan menemukan arti dari semua itu.
Kancing kedua adalah tradisi orang
Jepang, apabila seorang laki-laki memberikannya kepada perempuan, tandanya
laki-laki itu mempunyai perasaan terhadap perempuan itu.
Masih ingat wkatu aku berbisik kepadamu
saat kita menuju Hard Rock sebelum kembali ke bus? Aku ingin kau selalu ada di
sisiku sebelum aku meninggalkan dunia ini, meninggalkanmu, meninggalkan
semuanya.
Masih ingat pesan singkatku yang berisi
permintaan maaf? Aku merasa bersalah telah membohongi perasaanku dan perasaanmu
selama ini, aku juga merasa bersalah tidak jujur kepadamu tentang penyakit
parahku ini.
Namun kini aku telah tenang, jangan
khawatirkan aku. Jangan menangisi kepergianku. Jangan merasa kehilangan sosok
diriku. Aku akan tetap ada di dalam hatimu, Joe. Yakinlah bahwa aku selalu ada.
Meski fisik ini sudah tiada.
Jangan pernah menyesal dan jangan
pernah menyalahkan waktu, Joe!
Aku menyayangimu selalu. J
Kembali
aku meneteskan air mata membaca surat itu. Kini semua tlah terjadi. Benar apa
yang dikatakan Rayn, aku tidak boleh menyesali apa yang telah terjadi, aku pun
tidak boleh menyalahkan waktu. Daun yang gugur saja tidak pernah menyalahkan
angin. Aku harus bangkit, walau memang rasa penyesalan ini masih ada. Penyesalan yang selalu datang terlambat.